Minggu, 08 Maret 2020

International Women's Day




Manusia dilahirkan dengan setara, baik itu laki-laki maupaun perempuan. Hal tersebut sering kita dengar saat kita masih kecil hingga remaja. Beranjak dewasa kita mulai memahami bahwa hal tersebut hanya dongeng manis yang kita dengar dan baca yang jauh dari realita yang ada. Banyak hal di dunia ini maupaun sekitar kita jauh dari kesetaraan yang selalu kita impikan. Masih ada diskriminasi ras, suku, agama maupun diskriminasi gender yang masih menjadi masalah bersama yang belum tuntas sampai sekarang. Budaya patriarki hingga mesogini menjadi mimpi buruk bersama kaum perempuan yang menghambatnya untuk perkembang dan menentukan nasibnya sendiri. Dan tepat hari ini kita merayakan hari perempuan internasional yang menjadi tanda bahwa perempuan bisa dan mampu merubah jalannya sejarah. Bisahkan perempuan merubah jalannya sejarah ? Apa yang melatarbelakangi hari perempuan internasional ? Bagaimana perempuan menentukan nasibnya sendiri dan merubah jalannya sejarah ? Simak fakta menarik nya berikut !

Berawal dari gerakan kaum buruh 

Sebuah cerita yang beredar di lingkaran internal para jurnalis Prancis, bahwa ada seorang perempuan dari buruh pabrik tekstil melakukan demonstrasi pada 8 Maret 1857 di New York. Demonstrasi tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melawan penindasan dan gaji buruh yang rendah, tak disangka Demonstrasi ini mendapat dukungan oleh rekan-rekan. Bagaimana tidak ? Kaum buruh saat itu berkerja bagaikan robot. Mereka berkerja dari pagi hingga malam dengan upah kecil, tanpa adanya jaminan asuransi kesehatan dan kesejakteraan seperti sekarang. Serta saat itu, pegawai buruh tekstil di dominasi oleh kaum perempuan dari beberapa wilayah. Berawal oleh satu orang, terus bertambah hingga di ikuti banyak orang, hingga pemilik perusahaan tekstil tersebut tak mampu mengendalikan masa yang anarkis. Hingga pada akhirnya demonstrasi tersebut dibubarkan secara paksa oleh pihak kepolisian.

Peran International Women's Day dalam revolusi Rusia

Melihat dan memanfaatkan momen setiap tanggal 8 Maret, para perempuan di Kekaisaran Tsar  yang kelak menjadi Uni Soviet dan lalu Rusia modern, Melakukan Demonstrasi di Petrograd yang menjadi ibukota kekaisaran pada 1917. Di awali Revolusi Febuari, para perempuan rusia saat itu juga ikut berperan dalam penentuan arah tujuan bangsa rusia yang korup dan nepotis. Politik yang tidak stabil membuat perekonomian Rusia hancur ditambah kerugian yang diderita Rusia akibat bergabung dengan Perang Dunia I. Mereka menuntut agar Tsar Nicholas II mundur karena dinilai gagal menjalankan roda pemerintahan. Aparatur negara saat itu kaget, bagaimana mungkin kaum perempuan yang biasanya hanya di rumah atau buruh pabrik bisa melakukan hal tersebut. Apalagi pendidikan hanya diperuntukkan bagi kaum lelaki, membuat angka buta huruf dan pendidikan di rusia sangat rendah untuk kaum perempuan. Puluhan ribu warga Petograd atau St. Petesburg turun ke jalan-jalan memprotes kekurangan makanan yang mereka derita dikarenakan pemerintahan Tsar. Revolusi ini berhasil menggulingkan Tsar Nicholas II dan mengakhiri era pemerintahan para Tsar atau kaisar di negeri itu, dan terbentuklah Uni Soviet.

Di rayakan setiap tanggal 8 Maret

Tidak seperti demostrasi di New York saat 1857 , demontrasi di rusia pada 1917 berbuah manis untuk setiap kalangan. Peran kaum perempuan menjadi sangat diperhitungkan dalam menentukan arah tujuan bangsa. Maka pemerintahan uni soviet saat itu menetapkan 8 Maret sebagai hari libur nasional untuk merayakan perjuangan kaum perempuan. Melihat betapa vital dan pentingnya peran perempuan, Uni soviet juga mengajuhkan agar 8 Maret ditetapkan menjadi hari perempuan internasional. Maka pada tahun 1977, Hari Perempuan Internasional diresmikan sebagai perayaan tahunan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memperjuangkan hak perempuan dan mewujudkan perdamaian dunia.
Terlepas betapa pentingnya perempuan, serta peran mereka dalam merubah sejarah dan arah langkah bangsa. Kaum perempuan tetap dihadapkan pada diskriminasi, yang sulit untuk dihilangkan. Budaya patriarki sudah mendarah daging lalu sifat Mesogini dalam masyarakat. Hal ini sebagai tanda bahwa perjuangan kaum perempuan jauh dari kata selesai untuk kesetaraan. Tetapi ibarat sebuah sayap, dimana lelaki adalah sayap kanan dan perempuan adalah sayap kiri. Jika memgharapkan sebuah langkah jauh kedepan maka tak boleh saling mengandalkan diantara keduanya. Lebih baik berjalan bersama secara beriringan untuk terbang menuju hari esok yang lebih baik. Selamat hari perempuan internasional, ingatlah perjuangan kita belum selesai.

Sabtu, 29 Februari 2020

Isu Gender dalam Perspektif Hukum



Isu Gender Dalam Hukum Adat dan Keluarga
Antara hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum waris mempunyai hubungan yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang lainnya saling bertautan dan bahkan saling menentukan.
Di Indonesia pada dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan  atau kekerabatan yakni :
1. Sistem kekerabatan patrilial yakni sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis ayah (laki-laki). Sistem ini di anut di Tapanuli, Lampung, Bali dan lainnya. Misalnya dalam sistem kekerabatan Matrilinial, di Minangkabau yang menempatkan status perempuan yang tinggi disertai sistem perkawinan semendonya, sebagai penerus keturunan, juga sebagai ahli waris. Tetapi kekuasaan tetap di tangan laki-laki, bukan pada perempuan (ibu). Hal ini dapat dilihat dari orang yang menjadi mamak kepala waris dijabat oleh laki-lakitertua. Oleh karena itu dalam hukum waris di Minangkabau terdapat isu gender.
2. Sistem kekerabatan Matrilinial, yakni sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis ibu ( garis perempuan. Sistem ini dianut di Sumatera Barat. pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilinial, jelas garis keturunan ditarik dari tangan laki-laki (ayah), kaum perempuan justru sebaliknya yakni mempunyai kedudukan yang rendah, tidak sebagai ahli waris, tidak sebagai pelanjut keturunan karena perempuan mengikuti suamidalam perkawinan jujur dan tuidak dalam masyarakat di Bali, termasuk perempuan yang diubah statusnya melaluim perkawinan nyeburin (nyentana) untuk menjadikan status sama dengan anak laki-laki, namun perempuan tetap sebagai istri bukan sebagai kepala rumah tangga. Jadi anak perempuan yang diubah statusnya perlu persyarratan tertentu seperti tidak mempunyai saudara laki-laki. Hal ini juga sering dijadikan alasan untuk melakukan poligami bagi suami apabila anak perempuan tersebut tidak mendapatkan laki-laki yang mau kawin nyeburin yang dimungkinkan dalam suatu hukum adat untuk mempunyai istri lebih dari satu dalam jumlah yang tidak terbatas apalagi dengan alasan untuk mendapatkan anak lakilaki sebagai peelanjut keturnan.
3. Sistem kekerabatan Parental, yakni sistem kekerabatan yang menagmbil garis keturunan dari garis ayah dan ibu (kedua belah pihak). Sistem ini dianut di Jawa, Madura, Sumatera Selatan dan lainnya. Walupun di Indonesia terdapat tiga sistem kekerabatan, namun kekuasaan tetap pada tangan laki-laki. Hal ini sebagai akibat pengaruh ideology Patriarki. Pada masyarakat Hindu di Bali yang menganut sistem kekerabatan patrilinial dalam sistem pewarisan dijiwai oleh agtama Hindu seperti yang tercantum dalam kitab Manawa Dharmasastra yang merupakan salah satu sumber yang diaatin yakni: Bab IX atyat 141 yang menyatakan betapa pentingnya mendapatkan keturunan dalam perkawintan berkaitan  kehidupan orang tua di dunia dan akhirat. Apabila anak mempunyai keturunan, sehingga kakek mempunyai cucu yang dianggap dapat menyelamatkan keluarga, karena setelah mendapat cuculah tujuan hidup tercapai. Pada masyarakat Bali diungkapkan dengan pernyataan  I Cucu nyupat I Kaki ( cucu menyelamatkan kakek). Hal ini dapat disimak dari cerita Mitos Si Jaratkaru yang leluhurnya hamper jatuh ke neraka, karena tidak mempunyai karena ia tidak menikah terlanjur untuk menekuni dunia spiritual. Untuk melanjutkan leluhurnya agar tidak masuk ke neraka, akhirnya si Jaratkaru menikah dan mempunyai anak laki-laki inilah yang dianggap dapat menyelamatkan leluhurnya.
Isu Gender Dalam Perkawinan Islam
Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan atas dasar hierarki. Penafsiran tentang adanya hierarki ini berarti ada satu yang lebih tinggi misalnya laki-laki yang bekerja di sektor publik dari yang lain seperti peremppuan yang bekerja di sector domestic Argumen ini didasari pada penafsiran Al-Quran. Laki-laki adalah Qawamun atas perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain dan karena telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Kata Qawamun  ditafsirkan sebagai tanggungjawab, penguasa, penjaga atau pelindung perempuan dengan beberapa alas an seperti laki-laki memiliki kelebihan penalaran, kesempurnaan akal, kejernihan pikiran, matang dan perencana, penilaian yang tepat, kelebihan dalam amal dan ketaatan kepada Allah, tekad yang kuat, keteguhan, kemampuan menulis bahkan keberanian yang lebih dibandingkan perempuan. Oleh sebab itu, muncul tugas-tugas besar kepada laki-laki seperti sebagai nabi, imam maulana, berperan dalam jihad, shalat jumat, khutbah pesaksian, wali dalam pernikahan anak permpuan sampai pada perceraian dan rujuk.Sedangkan pada diri perempuan tidak punya otoritas tersebut. Oleh karena itu ada keabsahan teologis supermasi laki-laki atas perempuan. Setelah mendapatkan pengesahan teologis, selanjutnya muncul kuat dalam keilmuan psikologis dan sosiobiologi. Maka stereotype perempuan dalam psikologi adalah membenarkan peran tradisional perempuan di sector domestic yang kemudian dianggap sebagian dianggap nature perempuan. Pandangan-pandangan psikologi dan sosiobiologi ini jelas memberikan dukungan ilmiah kepada pandangan-pandangan teologi yang dari sudut pandang feminis terlihat mempunyai bisa kepentingan laki-laki. Sebagi konskuensi terakhir melalui argument teologis, psikologi, dan sosiobiologi, maka dibenarkan bahwa pembagian kerja secara seksual antara laki-laki dengan perempuan memang merupakan kodrat, bukan buatan manusia melaui bentukan budaya.Nasib telah menentukan perempuan sebagai “pelengkap” penciptaan laki-laki. Penilaian laki-laki lebih tinggi, bermakna lebih mulia secara hirearki diligitimasikan, sehingga tidak ada kesetaraan (equality) . Keadaan perempuan yang (inequal) dengan laki-laki, jelas perempuan tidak punya kebebasan ( freedom)  dihadapan laki-laki.
Pembagian kerja secara hirearki berpengaruh terhadap perempuan dalam hukum perkawinan dan pewarisan amat penting dalam kehidupan manusia, perorangan maupun kelompok. Melalui perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan yang terjadi dianggap terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagi makhluk yang terhormat. Islam mengatur perkawinan dengan teliti dan terperinci agar membawa umat manusia hidup secara terhormat sesuai kedudukannya yang sangat mulia di tengah-tenagh mahkluk Allah yang lain. Dalam Al Quran diatur seperti penegasan bahwa Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, tujuan perkawinan serta akibat perceraian.
Dalam beberapa ketentuan di atas masih terlihat adanya bias gender dan diskriminasi diantaranya Hak-hak suami dalam memberikan pelajaran terhadap istri yang membangkang (nusyuz). Apabila tidak ditati, suami berhak pisah tempat tidur. Apabila hal tersebut juga tidak ditaati, suami berhak memberi pelajaran dengan memukul yang diatur dalam Q.S. An Nisa 343, walaupun memukul itu tidak sampai berakibat luka dan tidak pada bagian muka .sedangkan istri dalam menasehati suami tidak ada diatur. Apabila dilihat dari konvensi Penghapusan Segala bentuk diskriminasi sangan bertentangan dan tidak adanya kesetaraab dan terjadi kekerasan gender.
Isu Gender Dalam Hukum Negara (Perundang-undangan)
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 (Tentang Perkawinan)
Undang-undang ini telah berlaku lebih dari 40 tahun untuk mengatur perkawinan dan perceraian warga Indonesia. Namun setelah diamati ada beberapa pasal yang diskriminatif gender dan bias gender yang merugikan perempuan khususnya. Pasal-pasal tersebut antara lain :
1. Pasal 4 ayat 2 pengadilan dapat memberikan izin kepada suami untuk beristri lebih dari seorang apabila istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebgai istri, istri mendapat cacat badan atau tidak dapat melahirkan keturunan.
2. Pasal 5, tentang poligami, dapat dilakukan oleh suami asal mendapat izin dari istri-istrinya.
3. Pasal 7 ayat 1, mengenai ketentuan umur untuk perempuan 16 tahun, untuk laki-laki 19 tahun untuk dapat melangsungkan perkawinan.
Hukum Pidana
Berbagai kekerasan terhadap perempuan dapat ditemukan dalam beberapa ketentuan KUHP maupun di luar KUHP:
1. Pasal 285 KUHP : Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengannya dipidana dengan pidana penjara selama 12 tahun karena memperkosa.
2. Pasal 347 KUHP : Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara selama 12 tahun.

Konsep Gender dalam Perspektif Hukum

Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasan belaka (machtsstaat). Dalam UUD hasil amandemen pasal 1 ayat (3) ditegaskan negara indonesia adalah negara hukum. Selain itu, Gender juga berkaitan dengan hukum, baik itu menurut Hukum Agama. Hukum Keluarga, Hukum Negara, dan Hukum Adat yang ada di masyarakat atau di lingkungan kita. Kami akan menguraikan bagaimana konsep gender dalam pandangan hukum-hukum tersebut serta peran dan isu yang terjadi di lingkungan kita yang mana kini masih ada yang memandang sepele dengan adanya gender.

Menurut Luhilima, negara perlu meningkatkan kesadaran dan komitemen akan persamaan hak asasi perempuan dan laki-laki yang dijamin dalam UUD. Negara wajib mengetahui perbuatan mana yang dibenarkan oleh Undang-Undang (Rechtshandeling) dan perbuatan mana yang merupakan (onrechtmatige daad) perbuatan melanggar hukum. Secara yuridis, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 27 secara eksplisit sudah ditegaskan bahwa seluruh warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tanpa kecuali. Aturan ini secara tegas melarang tindak diskriminasi. Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat dalam arti bahwa hukum mungkin di pergunakan sebagai suatu alat oleh Agent of change (pelopor perubahan).

Perempuan dan laki-laki memang berbeda secara biologis tetapi perbedaan bagian biologis ini kemudian ditafsirkan dan dikembangkan sedemikian rupa oleh setiap kebudayaan secara diskriminatif dan tidak adil menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berprilaku dan kegiatan. Seperti halnya hampir semua masyarakat memberikan tanggung jawab pengasuhan anak kepada perempuan, sementara untuk urusan kemiliteran dan pertahanan negara kepada laki-laki. Begitu juga politik ras, suku dan kelas, menjadi fonomena sosial yang dapat membatasi akses dan kesempatan hidup seseorang, yang menbentuk partisipasi seseorang dalam masyarakat dan dalam ekonomi, untuk itu di tuntut peran peraturan hukum (Legar Order).

Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis yakni hukum adat). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunjukkan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki. Adapun perspektif gender dalam ruang yang berbeda, diantaranya: 1. Hukum Agama Islam Gender dalam artian jenis kelamin (Departemen Pendidikan Nasional: 352) dalam bahasa Arab disebut dengan istilah jins. Jins diartikan dengan kind, sort, variety, species, class, genius, category, sex (male, female), gender, race, nation (Hans Wehr). Dalam konteks umum, seluruh ayat al-Qur’an yang membicarakan manusia dengan berbagai aspeknya dapat dikaitkan dengan persoalan gender. Oleh sebab itu, cukup banyak ayat yang dapat dijadikan dasar argumentasi untuk membicarakan masalah gender. Salah satu ayat yang merupakan prinsip dasar yang berhubungan dengan gender adalah QS. Al-Hujurat (49) ayat ke-13: Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Salah satu pemahaman yang dapat diambil dari kandungan ayat di atas adalah bahwa jenis kelamin yang berbeda adalah fitrah ciptaan Allah terhadap manusia.

Jenis kelamin itu bukan standar yang menentukan kualitas seseorang. Kualitas seseorang dinilai dari kadar ketaqwaannya. Artinya, siapapun dia, apapun jenis kelaminnya, ketika dia termasuk kelompok yang paling bertaqwa maka dia adalah orang yang paling mulia di sisi Allah. Ayat lain terdapat dalam QS. an-Nisa’: 24 yang menyebutkan sebagai berikut: Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (lakilaki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. an-Nisa’: 24) Bertitik tolak dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Konteks ayat dengan tegas menyebut bahwa laki-laki adalah qawwamuna (pemimpin) bagi kaum perempuan oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka, pemahaman sebaliknya (mafhum mukhalafah) dari konteks ayat ini adalah bahwa kaum perempuan tidak bisa menjadi pemimpin kaum laki-laki. Ayat ini membicarakan perbedaan antara jenis kelamin lakilaki dan perempuan dari segi kepemimpinan dalam hubungannya dengan hal yang telah Allah berikan keutamaan dan persoalan nafkah. Persoalan gender dalam perspektif syari’ah bukanlah keberpihakan kepada salah satu pihak (sebut perempuan).

Akan tetapi, Islam menempatkannya secara seimbang, di mana masing-masing pasangan melengkapi yang lain. Hal ini tidak aneh bahwa pola pandang Islam berisikan beberapa poin ketidaksetaraan antara pria dan perempuan, karena terdapat perbedaan alami antara gender. Ada perbedaan dalam identitas alami, struktur tubuh, dorongan dan reaksi seksual, fungsi dan implikasi reproduksi, serta hormon. 2. Hukum Keluarga Hukum keluarga mengatur kewenangan perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga dan urusan keluarga, termasuk perkawinan, perceraian, pengambilan keputusan reproduksi, pengasuhan anak, pengawasan harta bersama, dan warisan. Ini adalah wilayah di mana ketidaksetaraan hak paling nyata sering terjadi, di mana efek adat dan norma gender paling terasa. Ketidaksetaraan gender dalam hukum keluarga sangat diperdebatkan karena menyangkut hal-hal paling mendasar dalam kehidupan keluarga-hubungan suami-istri, besarnya keluarga, dan hak orang tua atas hak anak-anaknya. Berdampingan dengan hukum negara, hukum adat dan hukum agama turut menetapkan hak-hak keluarga yang bisa atau tidak bisa sejalan dengan sistem hukum negara. Oleh karenanya, efek potensi reformasi hukum negara bergantung pada seberapa luas hukum tersebut terkait dengan struktur hukum lainnya. Misalnya, UU Perkawinan tahun 1994 di Uganda menjamin kesetaraan hak dalam perceraian namun tidak mengatur pembagian harta bersama. Berlaku hukum adat di mana perempuan memperoleh hak atas tanah lewat suami mereka, dan jika suami mereka meninggal dunia haknya tersebut menjadi tergantung pada kerabat laki-lakinya (Gopal dan Salim 1998).

Di Zimbabwe, perkawinan sipil berdasarkan UU Perkawinan seharusnya merupakan perkawinan monogami dan melarang laki-laki maupun perempuan untuk melakukan perkawinan kedua. Namun perkawinan yang dicatatkan berdasarkan Aturan Hukum Adat bepotensi poligamis dengan membolehkan laki-laki menikah lagi tetapi tetap melarang perempuan untuk melakukan hal yang sama (Hellum 1998). Seperti halnya negara-negara lain, Uganda dan Zimbabwe menghadapi kontradiksi antara struktur dan norma keluarga tradisional dengan tujuan kesetaraan gender 3. Hukum Negara (Perundang-undangan) Hukum negara berkaitan dengan setiap bagian dari sistem hukum formal, mulai dari perundagan yang dikeluarkan oleh berbagai tingkat pemerintahan sampai peraturan dan pedoman yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Disini istilah tersebut merujuk pada hukum pengadilan maupun putusan hakim. Berbagai kendala sistem juga menghalangi diwujudkannya komitmen nasional terhadap kesetaraan gender. Seperti yang dibahas dibagian berikut nanti, unsur lain dari kerangka hukum suatu negara (hukum adat maupun hukum acara) bisa saja masih memberi ruang ketidaksetaraan hak antara perempuan dan laki-laki, dan secara efektif menghapus komitmen tersebut. Selain itu, kemampuan sebuah negara untuk melaksanakan dan menegakkan undang-undang secara efektif sering kali sangat terbatas. Keterbatasan ini lagi-lagi disebabkan oleh adanya potensi konflik antara hukum negara dengan strukutur hukum agama dan tradisi yang lebih dominan, dan sebagian lagi karena lemah atau tidak adanya peran lembaga-lembaga pemerintahan. Yang berpengaruh besar terhadap hukum nasional, terutama yang terkait dengan hak asasi manusia adalah hukum internasional. Hukum internasional telah menetapkan kesetaraan gender sebagai bagian dari keprihatinan global mengenai hak asasi dan kebebasan dasar manusia, yang berkaitan dengan hak ekonomi dan politik, tuntutan atas layanan kesehatan dan pendidikan dasar, serta keputusan reproduksi.

Banyak negara megakui, paling tidak secara prinsip, standar-standar internasional hak asasi manusia PBB, dimulai dengan deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dikukuhkan pada tahun 1948 maupun hukum internasional dan berbagai konvensi yang menyusun aturan-aturan untuk mengatasi diskriminasi gender. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), yang ditetapkan tahun 1979, dianggap sebagai rancangan undang-undang internasional mengenaihak-hak perempuan. Konvensi ini melarang perbedaan, pengecualian atau pembatasan berdasar gender yang merugikan atau menghilangkan hak asasi manusia dan kebebasan dasar perempuan. Konvensi ini menetapkan keetaraan hak bagi perempuan dengan laki-laki dalam hal-hal partisipasi politik (Pasal 7-8), pendidikan (Pasal 10), pekerjaan (Pasal 11), kesehatan ( Pasal 12), akses ke fasilitas kredit (Pasal 13) serta perkawinan, pilihan reproduksi, dan pereceraian (Pasal 16). Negara wajib melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam rangka memenuhi tujuan CEDAW dalam waktu satu tahun telah ditandatanganinya konvensi dan setiap empat tahun sesudahnya. Deklarasi Penghapusan Kekerasan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1993 mewajibkan negara “mengutuk kekerasan terhadap perempuan dan tidak diperkenankan menggunakan adat, tradisi, atau pertimbangan agama untuk menghindari kewajiban negara yang berkaitan dengan penghapusan kekerasan.” KTT Pembangunan Sosial se-Dunia di Kopenhagen tahun 1995 mensahkan berbagai kesepakatan serupa yang mengacu pada hak asasi perempuan. Yang lebih baru, Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing 1995 menegaskan kembali komitmen terhadap standar-standar hak asasi bagi perempuan dan anak perempuan sebagai bagian tidak terpisahkan, menyatu dan tidak dapat dipilah-pilah dari hak asasi manusia dan kebebasan mendasar” (PBB 1997). 4. Hukum Adat Hukum adat adalah sistem hukum yang ada dalam kalangan masyarakat adat dimana terdapat aturan-aturan yangmembatasi masyarakatnya yang jika batasan itu dilanggarakan mendapatkan sanksi moral oleh masyarakat di lingkunganmasyarakat itu.

Perjuangan feminimisme di Indonesia dipelopori oleh R.A yang menuntut kedudukan sama antara laki-laki dan perempuan sudah mendapat pengakuan yang tersirat Pasal 27 dan 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahaan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Selain itu sudah ada produk perundang-undangan seperti UU Nomor 1 tahun 1974 (Tentang Perkawinan), Undang-Undang Nomor 7 tahunj 1984 tantang Pengesahaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 (Tentang Ketenagakerjaan ) yang bertujuan untuk memberikan kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Walupun sudah ada beberapa UU yang bertujuan untuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan , akan tetapi Sub-ordinat terhadap perempuan dan gender dalam kenyataan masih tetap ada dalam berbagai bidang kehidupan dan peraturan itu sendiri yang disebabkan belum ikutnya perempuan dalam pembuatan peraturan –peratuan tersebut. Dalam bidang hukum adat, khususnya dalam hukum kewarisan, Hazairin sudah pernah menggagas untuk membentuk hukum waris adat nasional yang bersifat bilateral, juga dalam seminar hukum adat di Yogyakarta tahun 1975 untuk membentuk keluarga nasional yang parental. Namun sampai sekarang gagasan tersebut belum terwujud.Oleh karena itu di Indonesia masih berlaku hukum adat waris beraneka ragam sesuai dengan sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat. Atas Dasar latar belakang tersebut, maka perlu ditelurusuri apakah ada isu gender dalam hukum adat khususnya hukum keluarga, perkawinan dan hukum waris. Hukum adat sebagai hukumnya rakyat dari kaedah hukum yang sebagian besar tidak tertulis yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat dimana hukum adat berlaku. Hukum adat terdiri dari berbagai lapangan hukum antara lain hukum adat Pidana, tata Negara, kekeluargaan , perkawinan dana waris. Namun dalam uraian ini hanya dibahas yakni hukum keluarga, perkawinan dan waris. Mengapa mengambil tiga hukum tadi untuk dibahas, karena ketiga macam hukum yang akan dibahas mempunyai hubungan yang erat dan saling bertautan