Sabtu, 29 Februari 2020

Isu Gender dalam Perspektif Hukum



Isu Gender Dalam Hukum Adat dan Keluarga
Antara hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum waris mempunyai hubungan yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang lainnya saling bertautan dan bahkan saling menentukan.
Di Indonesia pada dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan  atau kekerabatan yakni :
1. Sistem kekerabatan patrilial yakni sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis ayah (laki-laki). Sistem ini di anut di Tapanuli, Lampung, Bali dan lainnya. Misalnya dalam sistem kekerabatan Matrilinial, di Minangkabau yang menempatkan status perempuan yang tinggi disertai sistem perkawinan semendonya, sebagai penerus keturunan, juga sebagai ahli waris. Tetapi kekuasaan tetap di tangan laki-laki, bukan pada perempuan (ibu). Hal ini dapat dilihat dari orang yang menjadi mamak kepala waris dijabat oleh laki-lakitertua. Oleh karena itu dalam hukum waris di Minangkabau terdapat isu gender.
2. Sistem kekerabatan Matrilinial, yakni sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis ibu ( garis perempuan. Sistem ini dianut di Sumatera Barat. pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilinial, jelas garis keturunan ditarik dari tangan laki-laki (ayah), kaum perempuan justru sebaliknya yakni mempunyai kedudukan yang rendah, tidak sebagai ahli waris, tidak sebagai pelanjut keturunan karena perempuan mengikuti suamidalam perkawinan jujur dan tuidak dalam masyarakat di Bali, termasuk perempuan yang diubah statusnya melaluim perkawinan nyeburin (nyentana) untuk menjadikan status sama dengan anak laki-laki, namun perempuan tetap sebagai istri bukan sebagai kepala rumah tangga. Jadi anak perempuan yang diubah statusnya perlu persyarratan tertentu seperti tidak mempunyai saudara laki-laki. Hal ini juga sering dijadikan alasan untuk melakukan poligami bagi suami apabila anak perempuan tersebut tidak mendapatkan laki-laki yang mau kawin nyeburin yang dimungkinkan dalam suatu hukum adat untuk mempunyai istri lebih dari satu dalam jumlah yang tidak terbatas apalagi dengan alasan untuk mendapatkan anak lakilaki sebagai peelanjut keturnan.
3. Sistem kekerabatan Parental, yakni sistem kekerabatan yang menagmbil garis keturunan dari garis ayah dan ibu (kedua belah pihak). Sistem ini dianut di Jawa, Madura, Sumatera Selatan dan lainnya. Walupun di Indonesia terdapat tiga sistem kekerabatan, namun kekuasaan tetap pada tangan laki-laki. Hal ini sebagai akibat pengaruh ideology Patriarki. Pada masyarakat Hindu di Bali yang menganut sistem kekerabatan patrilinial dalam sistem pewarisan dijiwai oleh agtama Hindu seperti yang tercantum dalam kitab Manawa Dharmasastra yang merupakan salah satu sumber yang diaatin yakni: Bab IX atyat 141 yang menyatakan betapa pentingnya mendapatkan keturunan dalam perkawintan berkaitan  kehidupan orang tua di dunia dan akhirat. Apabila anak mempunyai keturunan, sehingga kakek mempunyai cucu yang dianggap dapat menyelamatkan keluarga, karena setelah mendapat cuculah tujuan hidup tercapai. Pada masyarakat Bali diungkapkan dengan pernyataan  I Cucu nyupat I Kaki ( cucu menyelamatkan kakek). Hal ini dapat disimak dari cerita Mitos Si Jaratkaru yang leluhurnya hamper jatuh ke neraka, karena tidak mempunyai karena ia tidak menikah terlanjur untuk menekuni dunia spiritual. Untuk melanjutkan leluhurnya agar tidak masuk ke neraka, akhirnya si Jaratkaru menikah dan mempunyai anak laki-laki inilah yang dianggap dapat menyelamatkan leluhurnya.
Isu Gender Dalam Perkawinan Islam
Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan atas dasar hierarki. Penafsiran tentang adanya hierarki ini berarti ada satu yang lebih tinggi misalnya laki-laki yang bekerja di sektor publik dari yang lain seperti peremppuan yang bekerja di sector domestic Argumen ini didasari pada penafsiran Al-Quran. Laki-laki adalah Qawamun atas perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain dan karena telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Kata Qawamun  ditafsirkan sebagai tanggungjawab, penguasa, penjaga atau pelindung perempuan dengan beberapa alas an seperti laki-laki memiliki kelebihan penalaran, kesempurnaan akal, kejernihan pikiran, matang dan perencana, penilaian yang tepat, kelebihan dalam amal dan ketaatan kepada Allah, tekad yang kuat, keteguhan, kemampuan menulis bahkan keberanian yang lebih dibandingkan perempuan. Oleh sebab itu, muncul tugas-tugas besar kepada laki-laki seperti sebagai nabi, imam maulana, berperan dalam jihad, shalat jumat, khutbah pesaksian, wali dalam pernikahan anak permpuan sampai pada perceraian dan rujuk.Sedangkan pada diri perempuan tidak punya otoritas tersebut. Oleh karena itu ada keabsahan teologis supermasi laki-laki atas perempuan. Setelah mendapatkan pengesahan teologis, selanjutnya muncul kuat dalam keilmuan psikologis dan sosiobiologi. Maka stereotype perempuan dalam psikologi adalah membenarkan peran tradisional perempuan di sector domestic yang kemudian dianggap sebagian dianggap nature perempuan. Pandangan-pandangan psikologi dan sosiobiologi ini jelas memberikan dukungan ilmiah kepada pandangan-pandangan teologi yang dari sudut pandang feminis terlihat mempunyai bisa kepentingan laki-laki. Sebagi konskuensi terakhir melalui argument teologis, psikologi, dan sosiobiologi, maka dibenarkan bahwa pembagian kerja secara seksual antara laki-laki dengan perempuan memang merupakan kodrat, bukan buatan manusia melaui bentukan budaya.Nasib telah menentukan perempuan sebagai “pelengkap” penciptaan laki-laki. Penilaian laki-laki lebih tinggi, bermakna lebih mulia secara hirearki diligitimasikan, sehingga tidak ada kesetaraan (equality) . Keadaan perempuan yang (inequal) dengan laki-laki, jelas perempuan tidak punya kebebasan ( freedom)  dihadapan laki-laki.
Pembagian kerja secara hirearki berpengaruh terhadap perempuan dalam hukum perkawinan dan pewarisan amat penting dalam kehidupan manusia, perorangan maupun kelompok. Melalui perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan yang terjadi dianggap terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagi makhluk yang terhormat. Islam mengatur perkawinan dengan teliti dan terperinci agar membawa umat manusia hidup secara terhormat sesuai kedudukannya yang sangat mulia di tengah-tenagh mahkluk Allah yang lain. Dalam Al Quran diatur seperti penegasan bahwa Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, tujuan perkawinan serta akibat perceraian.
Dalam beberapa ketentuan di atas masih terlihat adanya bias gender dan diskriminasi diantaranya Hak-hak suami dalam memberikan pelajaran terhadap istri yang membangkang (nusyuz). Apabila tidak ditati, suami berhak pisah tempat tidur. Apabila hal tersebut juga tidak ditaati, suami berhak memberi pelajaran dengan memukul yang diatur dalam Q.S. An Nisa 343, walaupun memukul itu tidak sampai berakibat luka dan tidak pada bagian muka .sedangkan istri dalam menasehati suami tidak ada diatur. Apabila dilihat dari konvensi Penghapusan Segala bentuk diskriminasi sangan bertentangan dan tidak adanya kesetaraab dan terjadi kekerasan gender.
Isu Gender Dalam Hukum Negara (Perundang-undangan)
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 (Tentang Perkawinan)
Undang-undang ini telah berlaku lebih dari 40 tahun untuk mengatur perkawinan dan perceraian warga Indonesia. Namun setelah diamati ada beberapa pasal yang diskriminatif gender dan bias gender yang merugikan perempuan khususnya. Pasal-pasal tersebut antara lain :
1. Pasal 4 ayat 2 pengadilan dapat memberikan izin kepada suami untuk beristri lebih dari seorang apabila istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebgai istri, istri mendapat cacat badan atau tidak dapat melahirkan keturunan.
2. Pasal 5, tentang poligami, dapat dilakukan oleh suami asal mendapat izin dari istri-istrinya.
3. Pasal 7 ayat 1, mengenai ketentuan umur untuk perempuan 16 tahun, untuk laki-laki 19 tahun untuk dapat melangsungkan perkawinan.
Hukum Pidana
Berbagai kekerasan terhadap perempuan dapat ditemukan dalam beberapa ketentuan KUHP maupun di luar KUHP:
1. Pasal 285 KUHP : Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengannya dipidana dengan pidana penjara selama 12 tahun karena memperkosa.
2. Pasal 347 KUHP : Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, dipidana dengan pidana penjara selama 12 tahun.

Previous Post
Next Post

11 komentar:

  1. Gender memang tak pandang hulu. Selagi hak manusia terpenuhi mengapa harus memaksa isu untuk memenuhi hak proregatif lainnya sedangkan kebutuhan dan kepentingan manusia jelaslah variatif. Hanya org primitif yg menganggap hal ini harus selalu diadili. Sejatinya konsep kehidupan manusia tak lepas dari suatu problematika. Isu gender hanyalah bias dari pribadi manusia maka hendaklah berdamai dgn diri sendiri dan begitupun dgn lingkungan sekitarnya

    BalasHapus
  2. mantap dan cukup mendalami konten yg disajikan dalam artikel blog ini. semoga terus memposting artikel yg bermanfaat bagi kebutuhan akademisi maupun masyarakat umum untuk mengetahui dan membangkitkan gairah kesadarannya terkait isu yg di angkat oleh blog ini

    BalasHapus
  3. Pada dasarnya di dalam keluarga itu sendiri di bangun oleh suami dan istri yang dimana di dalam kasus gender ini istri selalu di saja dianggap sebagai mahluk yang lemah, padahal tidak semua istri seperti itu dalam artikel ini di jelaskan sangatlah jelas tentang apa itu keserataan gender, diamana suami dan istri hidup saling melengkapi satu sama lain..

    BalasHapus
  4. Coba min pake bahasa yang sedikit santai. Tidak terlalu definitif.

    BalasHapus