Sabtu, 29 Februari 2020

Konsep Gender dalam Perspektif Hukum

Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasan belaka (machtsstaat). Dalam UUD hasil amandemen pasal 1 ayat (3) ditegaskan negara indonesia adalah negara hukum. Selain itu, Gender juga berkaitan dengan hukum, baik itu menurut Hukum Agama. Hukum Keluarga, Hukum Negara, dan Hukum Adat yang ada di masyarakat atau di lingkungan kita. Kami akan menguraikan bagaimana konsep gender dalam pandangan hukum-hukum tersebut serta peran dan isu yang terjadi di lingkungan kita yang mana kini masih ada yang memandang sepele dengan adanya gender.

Menurut Luhilima, negara perlu meningkatkan kesadaran dan komitemen akan persamaan hak asasi perempuan dan laki-laki yang dijamin dalam UUD. Negara wajib mengetahui perbuatan mana yang dibenarkan oleh Undang-Undang (Rechtshandeling) dan perbuatan mana yang merupakan (onrechtmatige daad) perbuatan melanggar hukum. Secara yuridis, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 27 secara eksplisit sudah ditegaskan bahwa seluruh warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tanpa kecuali. Aturan ini secara tegas melarang tindak diskriminasi. Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat dalam arti bahwa hukum mungkin di pergunakan sebagai suatu alat oleh Agent of change (pelopor perubahan).

Perempuan dan laki-laki memang berbeda secara biologis tetapi perbedaan bagian biologis ini kemudian ditafsirkan dan dikembangkan sedemikian rupa oleh setiap kebudayaan secara diskriminatif dan tidak adil menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berprilaku dan kegiatan. Seperti halnya hampir semua masyarakat memberikan tanggung jawab pengasuhan anak kepada perempuan, sementara untuk urusan kemiliteran dan pertahanan negara kepada laki-laki. Begitu juga politik ras, suku dan kelas, menjadi fonomena sosial yang dapat membatasi akses dan kesempatan hidup seseorang, yang menbentuk partisipasi seseorang dalam masyarakat dan dalam ekonomi, untuk itu di tuntut peran peraturan hukum (Legar Order).

Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis yakni hukum adat). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunjukkan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki. Adapun perspektif gender dalam ruang yang berbeda, diantaranya: 1. Hukum Agama Islam Gender dalam artian jenis kelamin (Departemen Pendidikan Nasional: 352) dalam bahasa Arab disebut dengan istilah jins. Jins diartikan dengan kind, sort, variety, species, class, genius, category, sex (male, female), gender, race, nation (Hans Wehr). Dalam konteks umum, seluruh ayat al-Qur’an yang membicarakan manusia dengan berbagai aspeknya dapat dikaitkan dengan persoalan gender. Oleh sebab itu, cukup banyak ayat yang dapat dijadikan dasar argumentasi untuk membicarakan masalah gender. Salah satu ayat yang merupakan prinsip dasar yang berhubungan dengan gender adalah QS. Al-Hujurat (49) ayat ke-13: Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Salah satu pemahaman yang dapat diambil dari kandungan ayat di atas adalah bahwa jenis kelamin yang berbeda adalah fitrah ciptaan Allah terhadap manusia.

Jenis kelamin itu bukan standar yang menentukan kualitas seseorang. Kualitas seseorang dinilai dari kadar ketaqwaannya. Artinya, siapapun dia, apapun jenis kelaminnya, ketika dia termasuk kelompok yang paling bertaqwa maka dia adalah orang yang paling mulia di sisi Allah. Ayat lain terdapat dalam QS. an-Nisa’: 24 yang menyebutkan sebagai berikut: Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (lakilaki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. an-Nisa’: 24) Bertitik tolak dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Konteks ayat dengan tegas menyebut bahwa laki-laki adalah qawwamuna (pemimpin) bagi kaum perempuan oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka, pemahaman sebaliknya (mafhum mukhalafah) dari konteks ayat ini adalah bahwa kaum perempuan tidak bisa menjadi pemimpin kaum laki-laki. Ayat ini membicarakan perbedaan antara jenis kelamin lakilaki dan perempuan dari segi kepemimpinan dalam hubungannya dengan hal yang telah Allah berikan keutamaan dan persoalan nafkah. Persoalan gender dalam perspektif syari’ah bukanlah keberpihakan kepada salah satu pihak (sebut perempuan).

Akan tetapi, Islam menempatkannya secara seimbang, di mana masing-masing pasangan melengkapi yang lain. Hal ini tidak aneh bahwa pola pandang Islam berisikan beberapa poin ketidaksetaraan antara pria dan perempuan, karena terdapat perbedaan alami antara gender. Ada perbedaan dalam identitas alami, struktur tubuh, dorongan dan reaksi seksual, fungsi dan implikasi reproduksi, serta hormon. 2. Hukum Keluarga Hukum keluarga mengatur kewenangan perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga dan urusan keluarga, termasuk perkawinan, perceraian, pengambilan keputusan reproduksi, pengasuhan anak, pengawasan harta bersama, dan warisan. Ini adalah wilayah di mana ketidaksetaraan hak paling nyata sering terjadi, di mana efek adat dan norma gender paling terasa. Ketidaksetaraan gender dalam hukum keluarga sangat diperdebatkan karena menyangkut hal-hal paling mendasar dalam kehidupan keluarga-hubungan suami-istri, besarnya keluarga, dan hak orang tua atas hak anak-anaknya. Berdampingan dengan hukum negara, hukum adat dan hukum agama turut menetapkan hak-hak keluarga yang bisa atau tidak bisa sejalan dengan sistem hukum negara. Oleh karenanya, efek potensi reformasi hukum negara bergantung pada seberapa luas hukum tersebut terkait dengan struktur hukum lainnya. Misalnya, UU Perkawinan tahun 1994 di Uganda menjamin kesetaraan hak dalam perceraian namun tidak mengatur pembagian harta bersama. Berlaku hukum adat di mana perempuan memperoleh hak atas tanah lewat suami mereka, dan jika suami mereka meninggal dunia haknya tersebut menjadi tergantung pada kerabat laki-lakinya (Gopal dan Salim 1998).

Di Zimbabwe, perkawinan sipil berdasarkan UU Perkawinan seharusnya merupakan perkawinan monogami dan melarang laki-laki maupun perempuan untuk melakukan perkawinan kedua. Namun perkawinan yang dicatatkan berdasarkan Aturan Hukum Adat bepotensi poligamis dengan membolehkan laki-laki menikah lagi tetapi tetap melarang perempuan untuk melakukan hal yang sama (Hellum 1998). Seperti halnya negara-negara lain, Uganda dan Zimbabwe menghadapi kontradiksi antara struktur dan norma keluarga tradisional dengan tujuan kesetaraan gender 3. Hukum Negara (Perundang-undangan) Hukum negara berkaitan dengan setiap bagian dari sistem hukum formal, mulai dari perundagan yang dikeluarkan oleh berbagai tingkat pemerintahan sampai peraturan dan pedoman yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Disini istilah tersebut merujuk pada hukum pengadilan maupun putusan hakim. Berbagai kendala sistem juga menghalangi diwujudkannya komitmen nasional terhadap kesetaraan gender. Seperti yang dibahas dibagian berikut nanti, unsur lain dari kerangka hukum suatu negara (hukum adat maupun hukum acara) bisa saja masih memberi ruang ketidaksetaraan hak antara perempuan dan laki-laki, dan secara efektif menghapus komitmen tersebut. Selain itu, kemampuan sebuah negara untuk melaksanakan dan menegakkan undang-undang secara efektif sering kali sangat terbatas. Keterbatasan ini lagi-lagi disebabkan oleh adanya potensi konflik antara hukum negara dengan strukutur hukum agama dan tradisi yang lebih dominan, dan sebagian lagi karena lemah atau tidak adanya peran lembaga-lembaga pemerintahan. Yang berpengaruh besar terhadap hukum nasional, terutama yang terkait dengan hak asasi manusia adalah hukum internasional. Hukum internasional telah menetapkan kesetaraan gender sebagai bagian dari keprihatinan global mengenai hak asasi dan kebebasan dasar manusia, yang berkaitan dengan hak ekonomi dan politik, tuntutan atas layanan kesehatan dan pendidikan dasar, serta keputusan reproduksi.

Banyak negara megakui, paling tidak secara prinsip, standar-standar internasional hak asasi manusia PBB, dimulai dengan deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dikukuhkan pada tahun 1948 maupun hukum internasional dan berbagai konvensi yang menyusun aturan-aturan untuk mengatasi diskriminasi gender. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), yang ditetapkan tahun 1979, dianggap sebagai rancangan undang-undang internasional mengenaihak-hak perempuan. Konvensi ini melarang perbedaan, pengecualian atau pembatasan berdasar gender yang merugikan atau menghilangkan hak asasi manusia dan kebebasan dasar perempuan. Konvensi ini menetapkan keetaraan hak bagi perempuan dengan laki-laki dalam hal-hal partisipasi politik (Pasal 7-8), pendidikan (Pasal 10), pekerjaan (Pasal 11), kesehatan ( Pasal 12), akses ke fasilitas kredit (Pasal 13) serta perkawinan, pilihan reproduksi, dan pereceraian (Pasal 16). Negara wajib melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam rangka memenuhi tujuan CEDAW dalam waktu satu tahun telah ditandatanganinya konvensi dan setiap empat tahun sesudahnya. Deklarasi Penghapusan Kekerasan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1993 mewajibkan negara “mengutuk kekerasan terhadap perempuan dan tidak diperkenankan menggunakan adat, tradisi, atau pertimbangan agama untuk menghindari kewajiban negara yang berkaitan dengan penghapusan kekerasan.” KTT Pembangunan Sosial se-Dunia di Kopenhagen tahun 1995 mensahkan berbagai kesepakatan serupa yang mengacu pada hak asasi perempuan. Yang lebih baru, Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing 1995 menegaskan kembali komitmen terhadap standar-standar hak asasi bagi perempuan dan anak perempuan sebagai bagian tidak terpisahkan, menyatu dan tidak dapat dipilah-pilah dari hak asasi manusia dan kebebasan mendasar” (PBB 1997). 4. Hukum Adat Hukum adat adalah sistem hukum yang ada dalam kalangan masyarakat adat dimana terdapat aturan-aturan yangmembatasi masyarakatnya yang jika batasan itu dilanggarakan mendapatkan sanksi moral oleh masyarakat di lingkunganmasyarakat itu.

Perjuangan feminimisme di Indonesia dipelopori oleh R.A yang menuntut kedudukan sama antara laki-laki dan perempuan sudah mendapat pengakuan yang tersirat Pasal 27 dan 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahaan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Selain itu sudah ada produk perundang-undangan seperti UU Nomor 1 tahun 1974 (Tentang Perkawinan), Undang-Undang Nomor 7 tahunj 1984 tantang Pengesahaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 (Tentang Ketenagakerjaan ) yang bertujuan untuk memberikan kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Walupun sudah ada beberapa UU yang bertujuan untuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan , akan tetapi Sub-ordinat terhadap perempuan dan gender dalam kenyataan masih tetap ada dalam berbagai bidang kehidupan dan peraturan itu sendiri yang disebabkan belum ikutnya perempuan dalam pembuatan peraturan –peratuan tersebut. Dalam bidang hukum adat, khususnya dalam hukum kewarisan, Hazairin sudah pernah menggagas untuk membentuk hukum waris adat nasional yang bersifat bilateral, juga dalam seminar hukum adat di Yogyakarta tahun 1975 untuk membentuk keluarga nasional yang parental. Namun sampai sekarang gagasan tersebut belum terwujud.Oleh karena itu di Indonesia masih berlaku hukum adat waris beraneka ragam sesuai dengan sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat. Atas Dasar latar belakang tersebut, maka perlu ditelurusuri apakah ada isu gender dalam hukum adat khususnya hukum keluarga, perkawinan dan hukum waris. Hukum adat sebagai hukumnya rakyat dari kaedah hukum yang sebagian besar tidak tertulis yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat dimana hukum adat berlaku. Hukum adat terdiri dari berbagai lapangan hukum antara lain hukum adat Pidana, tata Negara, kekeluargaan , perkawinan dana waris. Namun dalam uraian ini hanya dibahas yakni hukum keluarga, perkawinan dan waris. Mengapa mengambil tiga hukum tadi untuk dibahas, karena ketiga macam hukum yang akan dibahas mempunyai hubungan yang erat dan saling bertautan
Previous Post
First

9 komentar:

  1. Gender memang merupakan hal yg tabu untuk dituntaskan dalam sekejap mata. Perbedaan perspektif kedua insan bahkan subjektif yg merasakannya pun berbeda. Oleh sebab itu jgn menjadi tuhan atas diri sendiri yg terkadang dengan mudah menghukum bahkan menghakimi manusia lainnya

    BalasHapus
  2. Lumayan dapet wawasan tambahan atas informasi gender yg dituangkan dalam bentuk artikel di blog ini. Alhasil tugas akademisi dan bahan diskusi terlesesaikan dan lancar. Terimakasih hehe

    BalasHapus
  3. Permasalahn yang kita alami saat ini yaitu masalah gender yang dimana gender ini salalu saja yang di rendahkannya perempuan, perempuan di anggap lemah dan sebagainya. Di dalam keluarga juga terkadang ada yang namanya diskriminasi terhadap perempuan yang dimana di dalam sosial budaya atau adat perempuan tidak boleh sekolah tinggi-tinggi karena ujung-ujungnya perempuan akan kasur, sumur, dapur.. Selalu saja itu yang di dengar, kesetaraan gender ini sangatlah penting bagi perempuan dan laki-laki karena apa supaya tidak.ada yang namanya lagi diskriminasi terhadap perempuan, baik dalam pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya itu sendiri. Di dalam artikel ini sudah sangatlah jelas di paparkan tentang gender itu sendiri seperti apa..

    BalasHapus