Senin, 02 Maret 2020

Layak kah Pendidikan Humanisme pada Politik Pendidikan di Indonesia?





Pendidikan adalah hak asasi manusia, kunci pembangunan berkelanjutan, dan perdamaian serta stabilitas dalam negeri. Dengan alasan itu tentunya pendidikan juga merupakan alasan atas gugatan manusia agar hak nya tidak hanya terpenuhi melainkan juga dilindungi pula oleh negara.
Politik pendidikan atau the politics of education adalah kajian tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan  cara-cara penyampaiannya. Kajian ini lebih terfokus pada kekuatan yang menggerakkan perangkat pencapaian tujuan pendidikan dan bagaimana serta kemana perangkat tersebut akan diarahkan. Kajian politik pendidikan terkosentrasi pada peranan negara dalam bidang pendidikan, sehingga dapat menjelaskan asumsi dan maksud dari berbagai strategi perubahan pendidikan dalam suatu masyarakat secara lebih baik. Kajian politik pendidikan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kaitan antara berbagai kebutuhan politik negara dengan isu-siu praktis sehari-hari di sekolah, tentang kesadaran kelas, tentang berbagai bentuk dominasi dan subordinasi yang sedang dibangun melalui jalur pendidikan.
Semua aktivitas institusi pendidikan bermuara pada pencapaian tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri sebagai warga negara demokratis dan bertanggung jawab (UU Nomor 20 Tahun 2003).
Politik pendidikan adalah sikap yang konsisten dalam hal mengarahkan kontrol sosial, baik mengenai tujuan maupun metodenya terhadap sistem pendidikan. Masyarakat selalu berpikir dan bertindak secara dinamis sehingga kerap mengalami suatu perubahan yang dialektis. Oleh karena sistem pendidikan itu merupakan suatu unsur dalam sistem sosial maka sistem pendidikan pun selalu mengalami perubahan yang dialektis pula.
Dewasa ini bangsa Indonesia tengah serius menggapai cita-cita untuk memajukan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial. Dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa pemerintah melalui pendidikan berupaya untuk dapat menghasilkan tunas-tunas unggul dan berkualitas.
Akan tetapi, apa jadinya jika pendidikan jutsru ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan sehingga tidak membebaskan peserta didik dan menghasilkan kehidupan yang lebih baik. Inilah yang belakangan sering terjadi dalam konteks pendidikan di negeri ini. Menurut Azzet (2014: 5), Pendidikan hanya sekedar mencerdaskan sisi intelektual saja. Anak didik tidak dibebaskan menjadi manusia seutuhnya. Kemudian menjadi manusia-manusia serakah yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
Pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia di klaim oleh sebagian masyarakat kurang mampu menjawab tantangan, perubahan dan tuntunan masyarakat. Pendidikan selama ini di yakini mampu menciptakan kehidupan agar lebih baik dan membantu para peserta didik mempersiapkan kebutuhan masa depannya dalam menghadapi perubahan zaman, masih jauh dari apa yang di harapkan. Hal ini yang terjadi di dunia pendidikan kita, hasilnya masih kurang memiliki standar kualifikasi pendidikan yang berkualitas (Arif, 2014: 229-230).
Dunia pendidikan saat ini dihadapkan pada persoalan yang cukup pelik, dimana kurikulum yang dianggap sebagai sistem pendidikan itu sendiri masih dalam proses pembaharuan dari transisi kepemimpinan (menteri) ke kepemimpinan setelahnya. Terlebih interpretasi dari kurikulum itu sendiri masih membingungkan bagi sebagian pendidik, sehingga apa yang diharapkan dari seorang pendidik yang profesional hanyalah sebatas keinginan yang tak sepenuhnya terpenuhi, padahal pemerintah telah mensubsidikan bonus berupa sertifikasi bagi mereka.
Imbasnya pembelajaran di kelas menjadi membosankan dan hanya formalitas belaka bahwa pendidikan telah berlangsung di lembaga pendidikan formal. Peserta didik yang semestinya mendapatkan nutrisi bagi akal dan juga pembentukan karakternya justru seakan-akan telah belajar meniru apa yang dilakukan oleh gurunya. Guru yang katanya di gugu dan di tiru menjadi momok yang seakan-akan bahwa semuanya akan kembali          kepada gurunya lagi, karena mereka lah yang menjadi orang tua mereka yang membimbing serta mengarahkan lingkungan mereka di sekolah.
Fenomena seperti di atas masih saja berlangsung dalam dunia pendidikan hingga saat ini. Maka tak heran apabila kemudian para peserta didik merasa bosan dan enggan untuk pergi ke sekolah. Karena sekolah bagi mereka sudah seperti penjara suci yang membelenggu kebebasan mereka.
Pendidikan gaya bank yang diterapkan ini, dimana peserta didik diberi ilmu agar kelak mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainya yang lazim dikenal. Depositor atau investor adalah guru yang mewakili lembaga kemasyarakatan yang berkuasa, sementara depositonya berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didikpun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan, atau penananaman ilmu pengetahuan yang dipetik hasilnya kelak.  Jadi guru adalah subyek aktif sedangkan sang anak adalah obyek pasif yang penurut, sebagai obyek ilmu pengetahuan yang berifat teoritis dan tidak berkesadaran
Carut marut yang di alami dunia pendidikan ini seakan-akan tak menemui jalan keluarnya. Jika diteliti lebih lanjut dimana letak kesalahan pendidikan ini? jelaslah kepada sistem pendidikan tersebut yang dimana kurikulum menjadi orientasi kemana arah dan tujuan pendidikan dapat dihasilkan. Pergantian kebijakan kurikulum dirasa sangat membingungkan dan dirasa penuh ketidak pastian, hal itu tentunya akan berdampak pada kemajuan bangsa ini. Usut punya usut masih banyak kepentingan dalam perumusan kebijakan pendidikan. Apabila pendidikan terpuruk, maka imbasnya masa depan bangsa ini juga akan ikut terpuruk.
Tanpa pembebasan tidak mungkin ada pembangunan masyarakat sesungguhnya. Hanya manusia yang menyadari bahwa dirinya mempunyai kemauan yang mampu membebaskan dirinya. Untuk keluar dari belenggu itu, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah orientasi pendidikan mulai dari akar-akarnya yang dimana terjadinya politisasi pendidikan terhadap kebijakan-kebijakan yang semestinya tertuju pada polarisasi yang sesuai dengan Tujuan Negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 45 sehingga terciptanya insan akademis yang tak hanya cerdas intelektual melainkan juga untuk terciptanya manusia-manusia yang berwatak dan bermartabat.
Realitas yang nampak kita saksikan bahwa peserta didik hanya sekedar duduk manis di kelas mengikuti siklus dan alur pendidikannya tanpa melihat pasti kompetensi yang dimiliki sehingga kebanyakan dari mereka merasa kebingungan karena tak memiliki kesiapan berkarya dan pesimis dalam menatap lapangan pekerjaan untuk bekerja yang dianggap mereka sebagai tujuan akhir pendidikan.
Akhirnya kebanyakan orangtua peserta didik enggan untuk menaruh perhatian lebih atas pendidikan yang sedang ditempuh oleh anak-anaknya di lembaga pendidikan karena mereka menganggap hal itu sudah lazim dan menjadi standarisasi pendidikan di Indonesia.
Disini lah peran dan fungsi pemerintah dalam mengontrol dan membuat era baru dalam pendidikan yang terlihat monoton dalam praktik lapangannya sehingga diperlukan suatu kebijakan politik dalam pendidikan itu sendiri untuk menyongsong peradaban bangsa yang lebih maju dengan tunas dan bibit unggul yang diciptakan, yakni peserta didik yang di didik di sekolahnya.


Previous Post
Next Post

2 komentar:

  1. Alhamdulillah tulisannya ngebantu banget nih buat nyari latar belakang makalah atau tugas lain2 tentang pendidikan..
    Makasih min..😊
    Tambahin referensi dong heheh...
    Semangat kaka admin buat makin banyak upload ilmu buat para pembaca

    BalasHapus