Pendidikan adalah
hak asasi manusia, kunci pembangunan berkelanjutan, dan perdamaian serta
stabilitas dalam negeri. Dengan alasan itu tentunya pendidikan juga merupakan
alasan atas gugatan manusia agar hak nya tidak hanya terpenuhi melainkan juga
dilindungi pula oleh negara.
Politik pendidikan atau the politics
of education adalah kajian tentang relasi antara proses munculnya berbagai
tujuan pendidikan dengan cara-cara
penyampaiannya. Kajian ini lebih terfokus pada kekuatan yang menggerakkan
perangkat pencapaian tujuan pendidikan dan bagaimana serta kemana perangkat
tersebut akan diarahkan. Kajian politik pendidikan terkosentrasi pada peranan
negara dalam bidang pendidikan, sehingga dapat menjelaskan asumsi dan maksud
dari berbagai strategi perubahan pendidikan dalam suatu masyarakat secara lebih
baik. Kajian politik pendidikan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang kaitan antara berbagai kebutuhan politik negara dengan isu-siu praktis
sehari-hari di sekolah, tentang kesadaran kelas, tentang berbagai bentuk
dominasi dan subordinasi yang sedang dibangun melalui jalur pendidikan.
Semua aktivitas
institusi pendidikan bermuara pada pencapaian tujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri sebagai warga negara demokratis dan
bertanggung jawab (UU Nomor 20 Tahun 2003).
Politik pendidikan adalah sikap yang konsisten dalam hal mengarahkan
kontrol sosial, baik mengenai tujuan maupun metodenya terhadap sistem
pendidikan. Masyarakat selalu berpikir dan bertindak secara dinamis sehingga
kerap mengalami suatu perubahan yang dialektis. Oleh karena sistem pendidikan
itu merupakan suatu unsur dalam sistem sosial maka sistem pendidikan pun selalu
mengalami perubahan yang dialektis pula.
Dewasa ini bangsa Indonesia tengah serius menggapai cita-cita untuk
memajukan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan
keadilan sosial. Dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa pemerintah melalui
pendidikan berupaya untuk dapat menghasilkan tunas-tunas unggul dan
berkualitas.
Akan tetapi, apa jadinya jika pendidikan jutsru ditumpangi oleh
kepentingan-kepentingan sehingga tidak membebaskan peserta didik dan
menghasilkan kehidupan yang lebih baik. Inilah yang belakangan sering terjadi
dalam konteks pendidikan di negeri ini. Menurut Azzet (2014: 5), Pendidikan
hanya sekedar mencerdaskan sisi intelektual saja. Anak didik tidak dibebaskan
menjadi manusia seutuhnya. Kemudian menjadi manusia-manusia serakah yang hanya
mementingkan dirinya sendiri.
Pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia di klaim oleh sebagian
masyarakat kurang mampu menjawab tantangan, perubahan dan tuntunan masyarakat.
Pendidikan selama ini di yakini mampu menciptakan kehidupan agar lebih baik dan
membantu para peserta didik mempersiapkan kebutuhan masa depannya dalam
menghadapi perubahan zaman, masih jauh dari apa yang di harapkan. Hal ini yang
terjadi di dunia pendidikan kita, hasilnya masih kurang memiliki standar
kualifikasi pendidikan yang berkualitas (Arif, 2014: 229-230).
Dunia pendidikan saat ini dihadapkan pada persoalan yang cukup pelik,
dimana kurikulum yang dianggap sebagai sistem pendidikan itu sendiri masih
dalam proses pembaharuan dari transisi kepemimpinan (menteri) ke kepemimpinan
setelahnya. Terlebih interpretasi dari kurikulum itu sendiri masih
membingungkan bagi sebagian pendidik, sehingga apa yang diharapkan dari seorang
pendidik yang profesional hanyalah sebatas keinginan yang tak sepenuhnya
terpenuhi, padahal pemerintah telah mensubsidikan bonus berupa sertifikasi bagi
mereka.
Imbasnya pembelajaran di kelas menjadi membosankan dan hanya formalitas
belaka bahwa pendidikan telah berlangsung di lembaga pendidikan formal. Peserta
didik yang semestinya mendapatkan nutrisi bagi akal dan juga pembentukan
karakternya justru seakan-akan telah belajar meniru apa yang dilakukan oleh
gurunya. Guru yang katanya di gugu dan di tiru menjadi momok yang seakan-akan
bahwa semuanya akan kembali
kepada gurunya lagi, karena mereka lah yang menjadi orang tua mereka
yang membimbing serta mengarahkan lingkungan mereka di sekolah.
Fenomena seperti di atas masih saja berlangsung dalam dunia pendidikan
hingga saat ini. Maka tak heran apabila kemudian para peserta didik merasa
bosan dan enggan untuk pergi ke sekolah. Karena sekolah bagi mereka sudah
seperti penjara suci yang membelenggu kebebasan mereka.
Pendidikan gaya bank yang diterapkan ini, dimana peserta didik diberi ilmu
agar kelak mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber
deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainya yang
lazim dikenal. Depositor atau investor adalah guru yang mewakili lembaga
kemasyarakatan yang berkuasa, sementara depositonya berupa ilmu pengetahuan
yang diajarkan kepada anak didik. Anak didikpun lantas diperlakukan sebagai
“bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan, atau penananaman ilmu
pengetahuan yang dipetik hasilnya kelak. Jadi guru adalah subyek aktif
sedangkan sang anak adalah obyek pasif yang penurut, sebagai obyek ilmu
pengetahuan yang berifat teoritis dan tidak berkesadaran
Carut marut yang di alami dunia pendidikan ini seakan-akan tak menemui
jalan keluarnya. Jika diteliti lebih lanjut dimana letak kesalahan pendidikan
ini? jelaslah kepada sistem pendidikan tersebut yang dimana kurikulum menjadi
orientasi kemana arah dan tujuan pendidikan dapat dihasilkan. Pergantian
kebijakan kurikulum dirasa sangat membingungkan dan dirasa penuh ketidak
pastian, hal itu tentunya akan berdampak pada kemajuan bangsa ini. Usut punya
usut masih banyak kepentingan dalam perumusan kebijakan pendidikan. Apabila
pendidikan terpuruk, maka imbasnya masa depan bangsa ini juga akan ikut
terpuruk.
Tanpa pembebasan tidak mungkin ada pembangunan masyarakat sesungguhnya.
Hanya manusia yang menyadari bahwa dirinya mempunyai kemauan yang mampu
membebaskan dirinya. Untuk keluar dari belenggu itu, salah satu cara yang dapat
dilakukan adalah dengan mengubah orientasi pendidikan mulai dari akar-akarnya yang dimana terjadinya politisasi
pendidikan terhadap kebijakan-kebijakan yang semestinya tertuju pada polarisasi
yang sesuai dengan Tujuan Negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 45 sehingga
terciptanya insan akademis yang tak hanya cerdas intelektual melainkan juga
untuk terciptanya manusia-manusia yang berwatak dan bermartabat.
Realitas yang nampak kita saksikan bahwa peserta didik hanya sekedar duduk
manis di kelas mengikuti siklus dan alur pendidikannya tanpa melihat pasti
kompetensi yang dimiliki sehingga kebanyakan dari mereka merasa kebingungan
karena tak memiliki kesiapan berkarya dan pesimis dalam menatap lapangan pekerjaan
untuk bekerja yang dianggap mereka sebagai tujuan akhir pendidikan.
Akhirnya kebanyakan orangtua peserta didik enggan untuk menaruh perhatian
lebih atas pendidikan yang sedang ditempuh oleh anak-anaknya di lembaga
pendidikan karena mereka menganggap hal itu sudah lazim dan menjadi
standarisasi pendidikan di Indonesia.
Disini lah peran dan fungsi pemerintah dalam mengontrol dan membuat era
baru dalam pendidikan yang terlihat monoton dalam praktik lapangannya sehingga
diperlukan suatu kebijakan politik dalam pendidikan itu sendiri untuk
menyongsong peradaban bangsa yang lebih maju dengan tunas dan bibit unggul yang
diciptakan, yakni peserta didik yang di didik di sekolahnya.
Keren nih keren artikelnyaa 👍🏻
BalasHapusAlhamdulillah tulisannya ngebantu banget nih buat nyari latar belakang makalah atau tugas lain2 tentang pendidikan..
BalasHapusMakasih min..😊
Tambahin referensi dong heheh...
Semangat kaka admin buat makin banyak upload ilmu buat para pembaca