Selasa, 10 Maret 2020

Menggugat Arti dari Nama Website! Apa itu Konsientisasi?



Seperti janji penulis dalam artikel sebelumnya. Terkadang membuat judul ataupun nama tidak semudah dibayangkan. Senada dengan ini William Shakespeare pernah mengatakan "apalah arti dari sebuah nama? andaikata kita memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan beraroma wangi", dalam arti suatu nama akan jelas andaikata memiliki makna yang disematkan dalam sebuah doa dan harapan. Kata konsientisasi mungkin jarang kita temui dan kita dengar dalam bahasa sehari-hari. Tak ayal bagi yang belum paham arti ini pasti sedikit ada rasa tanya yang hinggap dalam benaknya dalam balut penasaran (hehe kali aja).
Yaa, konsientisasi merupakan istilah yang digumamkan oleh seorang tokoh pendidikan terkemuka di Amerika Latin, tepatnya Brazil bernama Paulo Freire. Ia adalah pendidik, teolog, humanis, sosialis dan bahkan dianggap messias dunia ketiga (khususnya masyarakat Amerika Latin). Ia tidak hanya seorang yang kontroversial dengan metode pendidikan revolusionernya namun juga sosok yang sulit diterka. Pemikirannya selalu mencerminkan nada gugatan, protes dan berontak terhadap segala bentuk pendidikan yang telah mencabut manusia dari kesadarannyaDialah pejuang kebebasan dunia yang eksis memperjuangkan keadilan bagi orang-orang kelas marginal yang menyusun budaya diam di banyak wilayah. Eksistensi dan peran besarnya dalam pendidikan menempatkan Freire dalam orang-orang revolusioner-radikal.

Referensi Penulis
Karya-karya nya memberikan sumbangsih yang besar terhadap perkembangan pendidikan di dunia sebagaimana yang termaktub pada buku-bukunya seperti: Pendidikan Kaum Tertindas, Pendidikan Sebagai Proses, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Politik Pendidikan dll yang dijadikan salah satu referensi ahli pendidikan masa kini.
Kritik-kritiknya terhadap dehumanisasi melahirkan sebuah ide brilliant, yaitu bagaimana agar masyarakat lebih bersifat humanis sebab hanya dengan semangat humanisme yang mementingkan pembebasan dan pemerdekaan tiap orang-lah, maka penindasan dapat dihapuskan.

Esensi Konsientisasi Pendidikan
Tujuan pendidikan Freire adalah membangun suatu proses pendidikan yang disebutnya “penyadaran” (Conscietization) yang dibangun dalam realitas sosial dan kultural guru dan murid. Dari realitas ini, unsur-unsur tematik, isi, keputusan pedagogis akan muncul. Perpaduan antara teori dan praktik ini memberikan sumbangan bagi kekuatan dan pengaruh gagasan Freire. Dalam pengertian kongkret, metode “penyadaran” dalam proses melek huruf, pada dasarnya dibentuk oleh proses coding dan decoding (mengubah sesuatu menjadi kode dan mengubah kode menjadi sesuatu yang dapat dipahami) terhadap makna-makna linguistik dan sosial yang dijalankan dengan beberapa tahap.
Dalam analisis Freire, kesadaran masyarakat yang dianalogikannya dalam sebuah kode itu dibedakan atas 3 fase: Kesadaran naif, magis dan kritis. Konsep pendidikan Freire ini jika disajikan dalam bentuk skema akan membentuk bagan seperti berikut ini:
Masyarakat berkesadaran magis pada gambar diatas ada pada tangga paling bawah, itu menunjukkan posisinya yang jauh dari hakikat kebebasan, masyarakat berkesadaran naif ada pada posisi tengah, kendatipun posisinya dibawah masyarakat berkesadaran kritis namun dirinya belum dapat dikatakan sebagai pencipta kebebasan yang sesungguhnya. Sebab kendati sudah dapat memahami keadaan mereka tidak kunjung melakukan perubahan dengan alasan tidak memiliki cukup kekuatan untuk merubah. Lain halnya dengan kelompok ketiga yaitu masyarakat berkesadaran kritis, dengan bekal fikiran kritisnya mereka upayakan sepenuhnya untuk dapat berjuang dan merubah keadaan agar menjadi lebih baik dan membebaskan. Masyarakat inilah yang merupakan tujuan yang ingin diwujudkan Freire dalam mencapai cita-cita pendidikan humanistiknya yaitu membentuk manusia berkesadaran kritis untuk mencapai sebuah pembebasan.
Masyarakat berkesadaran magis membuat kehidupan terasa aman, nyaman dan damai. Hal ini yang disukai oleh pemerintah sebagai pencipta kebijakan, karena masyarakat ini condong untuk apatis dan bergerak statis dalam alur kehidupan berbangsa sehingga pemerintah dengan mudah leluasa dalam menentukan politiknya dalam bidang pendidikan ini. Lain halnya dengan masyarakat dengan kesadaran naif. Mereka mengetahui polemik pendidikan namun tak mempunyai kekuatan dan keinginan untuk merubahnya menjadi hal yang semestinya telah mereka pikirkan dalam gagasan dan konsep pendidikan yang di dambakan oleh masyarakat ini. Hal ini jelas masih menjadi suatu hal yang membingungkan, karena mereka memiliki kecemerlangan yang sifatnya terpendam oleh kekuasaan dan kebudayaan yang tidak memihak terhadap mereka sehingga mereka tetap mencari aman atas kesadaran individunya. Sedangkan masyarakat berkesadaran kritis inilah yang menjadi pembeda diantara masyarakat berkesadaran lainnya. Mereka memiliki mobilitas sosial yang dinamis untuk mewujudkan suatu cita-cita menuju kemajuan yang memaslahatkan masyarakat lainnya meskipun mereka terlihat pemberontak atas kebijakan pendidikan yang tak semestinya di jalankan namun mereka memperjuangkannya untuk menjawab tantangan pendidikan yang menurut mereka harus sesuai dengan nilai-nilai pendidikan yang membawa masyarakat menuju pembebasan seutuhnya dalam menuangkan pendidikan humanistik.
Pembebasan merupakan wujud akhir dari bentuk aktualisasi diri masyarakat sebagai kesatuan yang memiliki kesadaran kritis, dinamis, mobilitas tinggi dan dialektis dalam menjawab suatu polemik yang terjadi di ruang pendidikan dan kehidupan sosial lainnya. Mereka yang merdeka adalah mereka yang bebas untuk berkeinginan dengan hasrat serta nurani  dalam menentukan kehidupannya. Sehingga pendidikan hanyalah sarana menuju pendewasaan keilmuan serta sikap mereka atas realitas.
Previous Post
Next Post

6 komentar: