Seperti
janji penulis dalam artikel sebelumnya. Terkadang membuat judul ataupun nama
tidak semudah dibayangkan. Senada dengan ini William Shakespeare pernah
mengatakan "apalah arti dari sebuah nama? andaikata kita memberikan nama
lain untuk bunga mawar, ia tetap akan beraroma wangi", dalam arti suatu
nama akan jelas andaikata memiliki makna yang disematkan dalam sebuah doa dan
harapan. Kata konsientisasi mungkin jarang kita temui dan kita dengar dalam
bahasa sehari-hari. Tak ayal bagi yang belum paham arti ini pasti sedikit ada
rasa tanya yang hinggap dalam benaknya dalam balut penasaran (hehe kali aja).
Yaa,
konsientisasi merupakan istilah yang digumamkan oleh seorang tokoh pendidikan
terkemuka di Amerika Latin, tepatnya Brazil bernama Paulo Freire. Ia adalah
pendidik, teolog, humanis, sosialis dan bahkan dianggap messias dunia ketiga
(khususnya masyarakat Amerika Latin). Ia tidak hanya seorang yang kontroversial
dengan metode pendidikan revolusionernya namun juga sosok yang sulit diterka.
Pemikirannya selalu mencerminkan nada gugatan, protes dan berontak terhadap
segala bentuk pendidikan yang telah mencabut manusia dari kesadarannya. Dialah pejuang kebebasan dunia yang eksis memperjuangkan
keadilan bagi orang-orang kelas marginal yang menyusun budaya diam di banyak
wilayah. Eksistensi dan peran besarnya dalam pendidikan menempatkan Freire
dalam orang-orang revolusioner-radikal.
Referensi Penulis
Karya-karya nya memberikan sumbangsih yang besar
terhadap perkembangan pendidikan di dunia sebagaimana yang termaktub pada buku-bukunya
seperti: Pendidikan Kaum Tertindas, Pendidikan Sebagai Proses, Pendidikan
Sebagai Praktek Pembebasan, Politik Pendidikan dll yang dijadikan salah satu
referensi ahli pendidikan masa kini.
Kritik-kritiknya terhadap dehumanisasi
melahirkan sebuah ide brilliant, yaitu bagaimana agar masyarakat lebih bersifat
humanis sebab hanya dengan semangat humanisme yang mementingkan pembebasan dan
pemerdekaan tiap orang-lah, maka penindasan dapat dihapuskan.
Esensi Konsientisasi Pendidikan
Tujuan
pendidikan Freire adalah membangun suatu proses pendidikan yang disebutnya
“penyadaran” (Conscietization) yang
dibangun dalam realitas sosial dan kultural guru dan murid. Dari realitas ini, unsur-unsur tematik, isi, keputusan pedagogis akan muncul. Perpaduan antara
teori dan praktik ini memberikan sumbangan bagi kekuatan dan pengaruh gagasan
Freire. Dalam pengertian kongkret, metode “penyadaran” dalam proses melek
huruf, pada dasarnya dibentuk oleh proses coding dan decoding (mengubah sesuatu
menjadi kode dan mengubah kode menjadi sesuatu yang dapat dipahami) terhadap
makna-makna linguistik dan sosial yang dijalankan dengan beberapa tahap.
Dalam
analisis Freire, kesadaran masyarakat yang dianalogikannya dalam sebuah kode
itu dibedakan atas 3 fase: Kesadaran naif, magis dan kritis. Konsep
pendidikan Freire ini jika disajikan dalam bentuk skema akan membentuk bagan
seperti berikut ini:
Masyarakat
berkesadaran magis pada gambar diatas ada pada tangga paling bawah, itu
menunjukkan posisinya yang jauh dari hakikat kebebasan, masyarakat berkesadaran
naif ada pada posisi tengah, kendatipun
posisinya dibawah masyarakat berkesadaran kritis namun dirinya belum dapat
dikatakan sebagai pencipta kebebasan yang sesungguhnya. Sebab kendati sudah
dapat memahami keadaan mereka tidak kunjung melakukan perubahan dengan alasan
tidak memiliki cukup kekuatan untuk merubah. Lain
halnya dengan kelompok ketiga yaitu masyarakat berkesadaran kritis, dengan
bekal fikiran kritisnya mereka upayakan sepenuhnya untuk dapat berjuang dan
merubah keadaan agar menjadi lebih baik dan membebaskan. Masyarakat inilah yang
merupakan tujuan yang ingin diwujudkan Freire dalam mencapai cita-cita
pendidikan humanistiknya yaitu membentuk manusia berkesadaran kritis untuk
mencapai sebuah pembebasan.
Masyarakat berkesadaran magis membuat kehidupan terasa aman, nyaman dan
damai. Hal ini yang disukai oleh pemerintah sebagai pencipta kebijakan, karena
masyarakat ini condong untuk apatis dan bergerak statis dalam alur kehidupan
berbangsa sehingga pemerintah dengan mudah leluasa dalam menentukan politiknya
dalam bidang pendidikan ini. Lain halnya dengan masyarakat dengan kesadaran
naif. Mereka mengetahui polemik pendidikan namun tak mempunyai kekuatan dan
keinginan untuk merubahnya menjadi hal yang semestinya telah mereka pikirkan
dalam gagasan dan konsep pendidikan yang di dambakan oleh masyarakat ini. Hal
ini jelas masih menjadi suatu hal yang membingungkan, karena mereka memiliki
kecemerlangan yang sifatnya terpendam oleh kekuasaan dan kebudayaan yang tidak
memihak terhadap mereka sehingga mereka tetap mencari aman atas kesadaran
individunya. Sedangkan masyarakat berkesadaran kritis inilah yang menjadi
pembeda diantara masyarakat berkesadaran lainnya. Mereka memiliki mobilitas
sosial yang dinamis untuk mewujudkan suatu cita-cita menuju kemajuan yang
memaslahatkan masyarakat lainnya meskipun mereka terlihat pemberontak atas
kebijakan pendidikan yang tak semestinya di jalankan namun mereka
memperjuangkannya untuk menjawab tantangan pendidikan yang menurut mereka harus
sesuai dengan nilai-nilai pendidikan yang membawa masyarakat menuju pembebasan
seutuhnya dalam menuangkan pendidikan humanistik.
Pembebasan merupakan wujud akhir dari bentuk aktualisasi diri masyarakat
sebagai kesatuan yang memiliki kesadaran kritis, dinamis, mobilitas tinggi dan
dialektis dalam menjawab suatu polemik yang terjadi di ruang pendidikan dan
kehidupan sosial lainnya. Mereka yang merdeka adalah mereka yang bebas untuk
berkeinginan dengan hasrat serta nurani
dalam menentukan kehidupannya. Sehingga pendidikan hanyalah sarana
menuju pendewasaan keilmuan serta sikap mereka atas realitas.
Mancaaap 👍🏻
BalasHapusMantulll
BalasHapusMantulll
BalasHapusMantulll
BalasHapus👍..
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus